Mengarahkan Opini Publik

Akhir-akhir ini, berbagai hasil jajak pendapat ikut memanaskan atmosfer politik Indonesia. Dengan mengklaim diri sebagai penelitian ilmiah, jajak pendapat ingin mencapai status obyektif atau bebas nilai, padahal ia merupakan bagian dari strategi kekuasaan.

M Foucault dengan jeli menyingkap, status ilmiah merupakan cara kekuasaan memaksakan pandangannya kepada publik tanpa memberi kesan berasal dari pihak tertentu (1980). Kriteria ilmiah seakan mandiri terpisah dari kepentingan subyek.

Opini publik perlu dimengerti dalam konteks di mana publik terbentuk karena ada orang atau kelompok yang memiliki kepedulian terhadap suatu masalah (termasuk responden dan peneliti jajak pendapat). Mereka mencoba menemukan sebabnya atau menelisik penanggung jawab yang mengakibatkan masalah itu.

Kerancuan deskripsi

Publik bukan sekadar sekumpulan orang yang didorong sikap atau kepentingan. Mereka tercipta berkat wacana yang menyatukan dengan menyesuaikan opininya. Lalu terbentuk publik yang mengenali diri sebagai anggota kelompok yang lebih kurang sama. Maka, opini pertama-tama bukan sikap, tetapi proyeksi atau prakiraan.

Publik dimengerti sebagai bentuk koordinasi kolektif yang memiliki tiga hal. Pertama, identitas lebih kurang sama; kedua, setuju atas diagnostik masalah (sebab, tanggung jawab, dan pemecahan); ketiga, ikut terlibat untuk suatu upaya kolektif.

Jadi, opini selalu kontekstual terkait dengan budaya dan dinamika perdebatan. Jajak pendapat tidak lain kecuali sarana penyesuaian opini kolektif tidak berbeda dari fungsi media massa. Jajak pendapat tidak hanya cermin opini bersama, tetapi juga merupakan panggung debat publik.

Menjawab jajak pendapat berarti mengungkap pandangan di ruang publik. Ada tiga alasan yang mendasari (M Brougidou, 2008:14). Pertama, responden sadar tidak sendiri ambil bagian dalam jajak pendapat; kedua, responden tahu biasanya hasil dipublikasikan dan menjadi bahan komentar publik; ketiga, cakrawala yang didefinisikan oleh publikasi opini memberi bentuk terhadap posisi sikapnya. Pandangan pribadi biasanya berakar pada nilai komunitas politiknya.

Prapemahaman pada diri peneliti, metode yang dipakai, dan konteksnya membuat jajak pendapat mudah terjebak dalam kerancuan antara deskripsi netral atau mengungkap situasi mental (sikap), atau dilibatkan dalam memproduksi rumusan bahasa yang sudah dirancang atau disesuaikan dengan konteks tertentu. Responden bisa tidak lagi memberi deskripsi obyek, tetapi apa yang dirasakan atau membangun suatu versi tentang obyek. Jadi, tidak jarang hasil jajak pendapat akan mencampuradukkan antara deskripsi, evaluasi, dan penjelasan.

Apakah validitas jajak pendapat hanya diukur dari sikap yang diambil dari sampel yang dianggap representatif? Sebetulnya dalam jajak pendapat yang utama adalah mengambil wacana para pelaku, citra, kisah, dan argumen mereka yang membentuk ruang bersama terkait dengan suatu masalah dan dengan demikian bisa mengidentifikasi publik.

Namun, dalam kenyataan, jajak pendapat sering dikaitkan dengan upaya elite untuk mengontrol dan mengawasi opini publik. Boleh jadi upaya untuk mengukur dan mengetahui opini publik tidak lain kecuali upaya untuk menjinakkannya. Jajak pendapat biasanya mendasarkan legitimasinya pada dua bentuk representativitas: representativitas statistik yang mendeskripsikan penjumlahan opini-opini dan representativitas politik yang mendasarkan pada prinsip satu orang satu suara.

Ketidakseimbangan

Politisi sering menggunakan hasil jajak pendapat dan menggunakannya untuk komunikasi politik di media sehingga memberi bentuk realitas pada opini publik. Artinya, hasil jajak pendapat digunakan untuk mengarahkan opini publik. Dari sudut demokrasi deliberatif, opini yang dikumpulkan dalam jajak pendapat bisa dipertanyakan ciri ”publik”-nya karena bukan buah pertimbangan dan diskusi publik. Ada bias karena dampak penetapan masalah oleh peneliti menyebabkan ketidakseimbangan informasi di antara responden. Lalu aneka pertanyaan peneliti cenderung sudah mengarahkan ke opini tertentu. Tentu saja metode yang digunakan (pertanyaan terbuka-tertutup) akan menentukan hasilnya. Kendati demikian, tetap saja konstruksi nilai sudah terjadi.

Sikap memang dihasilkan oleh lingkungan psikologis dan sosial, tetapi berfungsi dengan penuh selubung tidak sesadar seperti peneliti/penganalisis. Padahal, peneliti sering sudah puas bila bisa menunjukkan hubungan statistik tanpa dapat menjelaskan melalui teori sosial.

Jika demikian, opini publik seolah seperti entitas kolektif, hasil struktur sosial yang dianggap sebagai hasil yang stabil dari proses interaksi komunikasi politik. Padahal, opini publik tidak stabil dan warga negara tidak selalu memiliki sikap berhadapan dengan masalah-masalah yang dibicarakan dalam diskusi publik (JR Ziller, 1992). Maka, perlukah menyusun kode etik atau mengatur instansi-instansi yang melakukan jajak pendapat bila upaya itu tidak lebih dari opini juga? Upaya yang perlu, pertama, adalah menyingkap, jajak pendapat tidak lain kecuali opini; kedua, jika mau membantah hasilnya, perlu dibuat penelitian tandingan.

Jajak pendapat seharusnya diarahkan untuk menemukan kembali dinamika perdebatan publik melalui interaksi antara pertanyaan tertutup dan terbuka. Jawaban-jawaban mereka (posisi dan dasar pembenaran) mencerminkan dinamika perdebatan publik. Maka, statistik bukan untuk menggambarkan representasi politik (satu orang satu suara), tetapi harus dilihat dalam kerangka demokrasi deliberatif, yaitu memberi kesempatan kepada suatu suara mengungkap alasan-alasannya.

Memang, dalam ilmu-ilmu sosial, konteks determinasi penelitian pragmatis biasanya tidak lepas dari soal politik yang kental dengan aspek retorika dan tujuan penelitian (JM Berthelot, 2001:206). Tujuannya, menekankan kegunaan atau kemampuan menjawab kebutuhan, maka pesan sponsor amat memengaruhi hasil. Penelitian tidak lepas dari pengaruh kepentingan dan nilai-nilai tertentu.

Haryatmoko, Dosen Pascasarjana FIB UI dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta – KOMPAS

Leave a comment

No comments yet.

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Leave a comment

  • RSS Unknown Feed

    • An error has occurred; the feed is probably down. Try again later.
  • “ISI – PORO”





  • Subscribe in Bloglines


  • RSS Unknown Feed

    • An error has occurred; the feed is probably down. Try again later.
  • “B A K A N C I N G”